Kajian terhadap bangunan candi telah banyak dilakukan oleh para ahli ilmu purbakala (arkeologi) baik para ahli Belanda ataupun ahli Indonesia sendiri. Istilah “candi”
umumnya hanya dikenal di Pulau Jawa saja, walaupun demikian di beberapa
daerah di luar Jawa yang pernah mendapat pengaruh kebudayaan Jawa
istilah “candi” tetap dikenal sebagai nama bangunan kuno dari zaman Hindu-Buddha Nusantara.
Candi sebenarnya adalah salah satu saja dari bangunan keagaamaan yang
pernah digunakan dahulu ketika agama Hindu-Buddha merebak dipeluk
masyarakat Jawa Kuno. Berdasarkan bukti-buktinya dapat diketahui bahwa
perkembangan kebudayaan Hindu-Buddha di Jawa berlangsung sekitar abad
ke-8—15 M. Dalam pembabakan sejarah kebudayaan Jawa, masa itu dinamakan
dengan zaman Klasik,.
Dinamakan dengan zaman Klasik karena adanya 2
parameter, yaitu:
- Zaman Hindu-Buddha merupakan periode dikembangkannya tonggak-tonggak kebudayaan penting yang dalam zaman sebelumnya tidak dikenal, seperti aksara, sistem kerajaan, arsitektur monumental, kesenian, penataan wilayah, dan lainnya lagi.
- Hasil-hasil pencapaian kebudayaan masa itu terus dikenal hingga sekarang dan tetap dapat dijadikan acuan bagi perkembangan masyarakat masa sekarang. Misalnya penggunaan bahasa Jawa Kuno yang mengacu kepada bahasa Sansekerta, kisah-kisah Mahābharata dan Ramayana, konsep pahlawan, konsep penguasa yang baik, perempuan ideal, masyarakat sejahtera, dan lain-lain.
Melalui penelisikan terhadap bukti-bukti artefaktualnya zaman Hindu-Buddha di Jawa pun terbagi dalam dua periode, yaitu
(a) zaman Klasik Tua (abad ke-8—10 M), dan
(b) zaman Klasik Muda (abad ke-11—15 M).
Zaman Klasik Tua
berkembang di wilayah Jawa bagian tengah, bersamaan dengan
berkembangnya pusat kerajaan di wilayah tersebut. Kerajaan yang dikenal
dalam masa itu adalah Mataram Kuno yang ibu kotanya berpindah-pindah
semula di Mdang i Poh Pitu, kemudian pindah ke Mdang i Watu Galuh, dan Mdang i Mamratipura.
Adapun zaman Klasik Muda. Kerajaan Mataram Kuno kerapkali dihubungkan dengan dinasti Śailendra
yang beragama Buddha Mahayana, namun ada juga kalangan sarjana yang
menyatakan bahwa kerajaan itu dikuasai oleh anak keturunan raja Sanjaya (“Sanjayavamsa”) yang menganut agama Hindu. Teori terbaru menyatakan bahwa Mataram Kuno dikuasai oleh anggota Śailendravamsa, di antara anggota-anggotanya ada yang beragama Buddha Mahayana dan ada pula yang memeluk Hindu-śaiva.
Dalam sekitar abad ke-10 M, Wawa raja Mataram Kuno
memindahkan kota kedudukan raja ke Jawa bagian timur, alasan pemindahan
tersebut masih menjadi perhatian para ahli dan belum ada kata putus yang
dapat diterima bersama. Hipotesa telah banyak dikemukakan oleh para
ahli, ada yang menyatakan bahwa pemindahan tersebut karena adanya wabah
penyakit, rakyat yang melarikan diri ke Jawa bagian timur karena
raja-raja masa itu memerintah dengan kejam, perpindahan itu dipicu
karena adanya serangan dari Śriwijaya, disebabkan bencana alam letusan
Gunung Merapi, serta suatu penjelasan terbaru menyatakan bahwa
pemindahan ibu kota itu sebenarnya mencari Mahameru yang lebih ideal di
Jawa Timur
(Munandar 2004).
Maka selanjutnya berkembanglah kerajaan-kerajaan di Jawa Timur, dimulai dari masa pemerintahan Pu Sindok bersama dinasti Iśananya.
Dalam masa pemerintahan Airlangga (1019—1042 M) kerajaan Mataram yang beribukota di Wwatan Mas (abad ke-11 M) itu terpaksa dibagi menjadi dua: Janggala (Kahuripan) dan Panjalu (Kadiri) yang beribu kota di Daha.
Kerajaan Kadiri yang kemudian lebih berperanan dalam sejarah sepanjang abad ke-12 M. Menyusul kerajaan Singhasari yang berkembang antara tahun 1222—1292 M yang dibangun oleh Ken Angrok. Akibat adanya serangan dari Jayakatwang penguasa Glang-glang terhadap raja Singhasari terakhir, yaitu Kŗtanagara (1268—1292), kerajaan itu runtuh,
untuk kemudian lewat perjuangan panjang Krtarajaśa Jayawarddhana (Raden Wijaya) berdirilah Wilwatikta. Dalam masa pemerintahan Rajaśanagara (1350—1389 M)
Majapahit menjelma menjadi penguasa Nusantara, Majapahit merupakan
kerajaan Hindu-Buddha terakhir di Jawa, berkembang selama lebih kurang
200 tahun lamanya (1293—1521 M).
Kerajaan Hindu-Buddha yang berkembang silih berganti di Jawa melampaui abad demi abad ada yang banyak meninggalkan “jejaknya”,
namun ada pula yang sedikit saja mempunyai peninggalan arkeologis.
Kerajaan Mataram Kuno, Singhasari dan Majapahit termasuk yang banyak
mewariskan berbagai monumen keagamaan Hindu dan Buddha.
Demikianlah
monumen yang menjadi perhatian dalam kajian ini adalah bangunan candi
yang merupakan salah satu monumen keagamaan penting. Bersama dengan
candi terdapat monumen lain yang dipandang sakral adalah petirthaan (patirthān), goa pertapaan, dan altar persajian hanya saja jumlahnya terbatas. Oleh karena itu candi tetap menjadi bahan kajian menarik karena jumlahnya banyak dan memiliki arsitektur unikum, candi tidak akan pernah selesai dibahas dari berbagai aspek, salah satu aspeknya adalah gaya arsitekturnya.
II
R.Soekmono (1997) seorang ahli
percandian Indonesia pernah mengadakan tinjauan ringkas terhadap
bangunan candi di Jawa, dinyatakan bahwa bangunan candi di Jawa
mempunyai dua langgam, yaitu Langgam Jawa Tengah dan Langgam Jawa Timur.
Menurutnya Langgam Jawa Tengah antara lain mempunyai ciri penting sebagai berikut:
- bentuk bangunan tambun.
- atapnya berundak-undak.
- gawang pintu dan relung berhiaskan Kala-Makara.
- reliefnya timbul agak tinggi dan lukisannya naturalis.
- letak candi di tengah halaman.
Adapun ciri candi Langgam Jawa Timur yang penting adalah:
- bentuk bangunannya ramping.
- atapnya merupakan perpaduan tingkatan.
- Makara tidak ada, dan pintu serta relung hanya ambang atasnya saja yang diberi kepala Kala.
- reliefnya timbul sedikit saja dan lukisannya simbolis menyerupai wayang kulit.
- letak candi bagian belakang halaman.
(Soekmono 1997: 86).
Demikian ciri-ciri penting yang dikemukakan oleh Soekmono selain
ciri-ciri lainnya yang sangat relatif sifatnya karena berkenaan dengan
arah hadap bangunan dan bahan yang digunakan. Sebagai suatu kajian awal
pendapat Soekmono tersebut memang penting untuk dijadikan dasar pijakan
selanjutnya manakala hendak menelaah tentang langgam arsitektur bangunan
candi di Jawa. Sebenarnya setiap butir ciri yang telah dikemukakan oleh
Soekmono dapat dijelaskan lebih lanjut sehingga menjadi lebih tajam
pengertiannya.
Misalnya bentuk bangunan tambun yang dimiliki oleh candi
Langgam Jawa Tengah, kesan itu terjadi akibat adanya bagian lantai kaki
candi tempat orang berjalan berkeliling memiliki ruang yang lebar,
dengan istilah lain mempunyai pradaksinapatha
yang lebar.
Bentuk bangunan tambun juga terjadi akibat atap candi
Langgam Jawa Tengah tidak tinggi, atapnya memang bertingkat-tingkat, dan
hanya berjumlah 3 tingkat termasuk kemuncaknya. Dibandingkan dengan
candi Langgam Jawa Timur jumlah tingkatan atapnya lebih dari tiga dan
berangsur-angsur tiap tingkatan tersebut mengecil hingga puncaknya,
begitupun pradaksinapathanya sempit hanya muat untuk satu orang saja, oleh karena itu kesan bangunannya berbentuk ramping.
Penjelasan lebih rinci juga dapat terjadi dalam hal kepala Kala, selain berpasangan dengan makara (hewan mitos gabungan antara gajah dan ikan, [gajamina]),
umumnya Kala pada candi-candi Jawa tengah digambarkan tanpa rahang bawah (tidak berdagu), seringkali juga tidak mempunyai sepasang cakar, dan mengesankan wajah seekor singa simbol wajah kemenangan (kirttimukha).
Sedangkan Kala di candi-candi dengan Langgam Jawa Timur digambarkan mempunyai rahang bawah (berdagu), jelas mempunyai sepasang cakar di kanan-kiri kepalanya dalam artian mengancam kejahatan yang akan mengganggu kesucian candi,
pada beberapa candi zaman Singhasari dan Majapahit kepala Kala dilengkapi sepasang tanduk dan sepasang taring
yang mencuat dari pipi kanan-kirinya. Kala tidak lagi dipasangkan
dengan bingkai Makara, melainkan dengan ular atau Naga yang diletakkan
di samping kanan-kiri Kala. Dalam penggambaran relief Kala disepadankan
dengan sepasang kepala kijang (mŗga)
yang menghadap ke arah luar. Pada akhirnya kesan yang didapatkan apabila
memperhatikan Kala candi-candi Jawa Timur adalah sebagai kepala raksasa, bukannya wajah singa.
Dalam hal pemahatan relief yang menghias dinding candi, jika disimak
dengan seksama terdapat perbedaan yang lebih terinci lagi. Memang secara
prinsip di candi-candi Langgam Jawa Tengah pemahatan reliefnya tinggi
dan bersifat naturalis, namun terdapat sejumlah ciri lainnya lagi yang
bersifat spesifik.
Dengan demikian jika diuraikan secara lengkap ciri relief di candi-candi Jawa Tengah adalah:
- Pemahatan relief tinggi
- Penggambaran bersifat naturalis
- Ketebalan pahatan ½ sampai ¾ dari media (balok batu)
- Terdapat bidang yang dibiarkan kosong pada panil
- Figur manusia dan hewan wajahnya diarahkan kepada pengamat (enface)
- Cerita acuan berasal dari kesusastraan India
- Tema kisah umumnya wiracarita (epos)
- Cerita dipahatkan lengkap dari adegan awal hingga akhir.
Mengenai ciri-ciri penggambaran relief pada candi-candi Langgam Jawa Timur adalah:
- Pemahatan relief rendah
- Penggambaran figur-figur simbolis, tokoh manusia seperti wayang kulit
- Dipahatkan hanya pada ¼ ketebalan media (batu/bata)
- Seluruh panil diisi penuh dengan berbagai hiasan, seperti terdapat “ketakutan pada bidang yang kosong”.
- Figur manusia dan hewan wajahnya diarahkan menghadap ke samping
- Cerita acuan dari kepustakaan Jawa Kuno, di samping beberapa saduran dari karya sastra India.
- Tema cerita umumnya romantis (perihal percintaan)
- Relief cerita bersifat fragmentaris, tidak lengkap hanya episode tertentu saja dari suatu cerita lengkap (Munandar 2003: 28—29).
Dalam hal letak candi induk di suatu kompleks percandian, Soekmono
menyatakan bahwa bangunan candi induk pada Langgam Jawa Tengah memang
berada di pusat halaman, sedangkan bangunan candi induk di kompleks
percandian dengan Langgam Jawa Timur terletak di halaman paling
belakang.
Soekmono menjelaskan:
“Maka mengenai bangunan candi harus diketengahkan bahwa candi
Roro Jonggrang menghendaki ditariknya seluruh perhatian ke pusat menuju
langit (lokasi kayangan tempat bersemayam para dewa), sedangkan Candi
Panataran menghendaki penggelaran pandangan secara mendatar (yang
sebenarnya merupakan proyeksi datar saja dari susunan vertikal) dengan
tujuan pengarahan perhatian ke lokasi nenek moyang di gunung-gunung”
(Soekmono 1986: 237).
Sebenarnya secara tidak langsung Soekmono telah menjelaskan adanya fungsi yang berbeda antara bangunan candi-candi dalam masa Klasik Tua yang didirikan di Jawa bagian tengah dan candi-candi masa Klasik Muda di Jawa Timur. Bahwa bangunan candi-candi masa Klasik Tua didirikan untuk keperluan ritus pemujaan kepada dewata, sedangkan candi-candi di masa Klasik Muda terutama era Singhasari dan Majapahit bermaksud untuk didedikasikan bagi pemujaan nenek moyang telah diperdewa. Maka bangunan candi jelas merupakan monumen keagamaan yang bersifat sakral karena diperuntuk sebagai media untuk “berkomunikasi” dengan hal Adikodrati (superhuman beings).
Sebenarnya secara tidak langsung Soekmono telah menjelaskan adanya fungsi yang berbeda antara bangunan candi-candi dalam masa Klasik Tua yang didirikan di Jawa bagian tengah dan candi-candi masa Klasik Muda di Jawa Timur. Bahwa bangunan candi-candi masa Klasik Tua didirikan untuk keperluan ritus pemujaan kepada dewata, sedangkan candi-candi di masa Klasik Muda terutama era Singhasari dan Majapahit bermaksud untuk didedikasikan bagi pemujaan nenek moyang telah diperdewa. Maka bangunan candi jelas merupakan monumen keagamaan yang bersifat sakral karena diperuntuk sebagai media untuk “berkomunikasi” dengan hal Adikodrati (superhuman beings).
Sebagai
bangunan sakral candi tidaklah mengikuti kaidah keagamaan secara ketat,
artinya tidak setiap bangunan candi harus didirikan secara seragam.
Bangunan-bangunan tersebut mempunyai wujud arsitektur yang berbeda-beda,
walaupun mempunyai latar belakang keagamaan yang sama.
Wujud arsitektur
yang berbeda itulah yang menarik untuk diperbincangkan lebih lanjut,
karena perbedaan tersebut sebenarnya menunjukkan adanya kekhasan. Oleh
karena itu lazim disebut-sebut bahwa bangunan candi memiliki
keistimewaan yang tidak didapatkan pada bangunan candi lainnya.
Misalnya
keistimewaan Candi Bima di Dieng adalah atapnya, atap dihias dengan bentuk-bentuk seperti buah keben (amalaka) yang tertekan dan oleh karena itu wujudnya pipih.
Candi lain mempunyai keistimewaan lain lagi dan seterusnya setiap candi mempunyai keistimewaan sendiri-sendiri.
III
Berdasarkan bentuk arsitekturnya, sebenarnya candi-candi di wilayah
Jawa bagian tengah dapat dibagi ke dalam dua macam gaya yang
berlatarbelakangkan nafas keagamaannya, yaitu
(1) candi-candi Hindu-śaiva dan
(2) candi-candi Bauddha.
Walaupun secara prinsip candi-candi itu mempunyai kesamaan, namun
terdapat banyak perbedaan pula yang menarik untuk dibicarakan lebih
lanjut.
Persamaan antara bangunan candi-candi Hindu-śaiva dan Bauddha di
wilayah Jawa Tengah yang didirikan antara abad ke-8—10 M antara lain
adalah:
- umumnya mempunyai pondasi yang berbentuk sumuran
- secara vertikal terdiri dari 3 bagian, yaitu, kaki, tubuh, dan atap bangunan
- mempunyai ruang utama di tengah bangunan
- dilengkapi dengan sejumlah relung yang kadang-kadang diperbesar menjadi ruang
- pipi tangga berbentuk ikal lemah
- terdapat gabungan bingkai padma, setengah lingkaran, dan rata
- ornamen yang selalu dikenal adalah hiasan Kala dan Makara.
Beberapa persamaan itu dapat ditemukan baik di candi-candi Hindu
ataupun Buddha, seakan-akan telah menjadi ciri arsitektur bagi bangunan
candi apapun di masa itu.
Sebagai contoh pada butir b, baik pada candi
Hindu ataupun Buddha pembagian vertikal tersebut selalu dapat dijumpai,
yaitu
(1) adanya bagian pondasi dan kaki candi
dalam ajaran Hindu merupakan simbol dari alam Bhurloka, pada candi
Buddha bagian ini dipandang sebagai pencerminan lapisan kehidupan
Kamadhatu.
(2) Bagian tubuh candi tempat
bersemayamnya arca-arca dewa baik di bilik tengah (utama) atau
relung-relung (parsvadewata) dalam ajaran Hindu merupakan simbol dari
dunia Bhuvarloka, sedangkan dalam ajaran Buddha dapat dipandang sebagai
pencerminan dari lapisan kehidupan Rupadhatu, dan
(3)
atap candi merupakan simbol Svarloka dalam Hinduisme, yaitu alam
kehidupan para dewa. Adapun dalam ajaran Buddhisme atap adalah simbol
Arupadhatu, suatu suasana tanpa wujud apapun, benar-benar hampa
(śunyata).
Jadi berdasarkan pembagian arsitektur secara vertikal
baik di candi Hindu ataupun Buddha sebenarnya melambangkan lapisan 3
dunia, yaitu dunia keburukan, dunia yang agak baik, dan dunia kebajikan
sepenuhnya.
Hal ini dinyatakan secara tegas dalam di bangunan candi,
terutama dalam hal penerapan ornamennya, sebab ornamen-ornamen itu ada
yang khas menggambarkan suatu dunia tertentu. Misalnya penggambaran
figur-figur makhluk kahyangan yang melayang di awan, binatang-binatang
mitos, pohon Kalpataru, relief cerita yang mencerminkan lapisan alam tertentu, dan sebagainya.
Sebelum
membicarakan cirri penting candi-candi Hindu, berikut didaftarkan dulu
candi-candi Hindu penting di wilayah Jawa bagian tengah.
Dengan adanya
daftar tersebut dapat diketahui adanya sejumlah candi Hindu yang
bangunannya masih berdiri, walaupun ada yang tidak lengkap lagi.
Candi-candi itu adalah adalah:
- Kelompok Candi Dieng + abad ke-8 Banjarnegara
- Kelompok Candi Gedong Songo + abad ke-8 Ambarawa
- Candi Gunung Wukir tahun 732 M Magelang
- Candi Pringapus + abad ke-9 Temanggung
- Kelompok Candi Sengi + abad ke-9 Magelang
- Candi Selagriya + abad ke-9 Magelang
- Candi Sambisari + abad ke-9 Sleman
- Candi Kedulan + abad ke-9 Sleman
- Candi Morangan + abad ke-9 Sleman
- Candi Barong + abad ke-9 Sleman
- Candi Ijo + abad ke-9 Sleman
- Candi Merak + abad ke-10 Klaten
- Candi Lawang + abad ke-10 Boyolali
- Candi Sari + abad ke-10 Boyolali
- Percandian Prambanan tahun 856 M Sleman
Sebenarnya
terdapat juga candi-candi Hindu yang tinggal runtuhannya saja, karena
itu tidak dapat diperkirakan kembali wujud lengkapnya semula.
Misalnya Candi Gondosuli di Temanggung, Candi Ngempon di Ambarawa, dan Candi Retno di Magelang.
Tentunya di masa mendatang diperkirakan masih akan ditemukan
candi-candi Hindu lainnya di wilayah Jawa Tengah, terutama di sekitar
gunung atau pegunungan, mengingat terdapat konsep kuat bahwa di daerah
pegunungan itulah para dewa bersemayam, jadi para pembangun candi
diperkirakan akan banyak mendirikan candi di daerah dataran tinggi dan
gunung-gemunung.
Berdasarkan
pengamatan terhadap sejumlah candi Hindu di wilayah Jawa Tengah dapat
diketahui adanya sejumlah ciri khas yang dimiliki oleh bangunan-bangunan
candi Hindu, yaitu:
- Di bagian tengah pondasi terdapat sumuran (perigi) tempat untuk menyimpan pendaman
- Lantai pradaksinapatha tidak terlalu lebar di bagian tepinya tidak ada pagar langkan (vedika).
- Terdapat 5 relung di dinding luarnya, 1 relung di setiap sisi dinding dan 2 relung kecil di kanan-kiri pintu (berisikan arca Durga Mahisasuramardini, Ganesa, Rsi Agastya, Mahakala, dan Nandiśvara)
- Jika berupa kompleks bangunan, maka terdiri dari 1 candi induk berhadapan dengan 3 Candi Perwara. Candi perwara tengah berisikan arca Nandi.
- Di bagian tengah bilik utama terdapat Lingga-Yoni, Yoni menutup mulut perigi yang terdapat di lantai bilik dan menembus pondasi.
- Mercu-mercu atap berupa bentuk candi kecil, kemuncaknya berbentuk motif ratna.
Demikian beberapa ciri penting yang terdapat pada bangunan gaya
arsitektur candi Hindu-śaiva yang terdapat di Jawa bagian tengah.
Ciri-ciri tersebut sebagian besar dapat ditemukan pada hampir semua
bangunan candi Hindu-śaiva, namun ada pula yang hanya didapatkan pada 2
bangunan saja, selain dua bangunan tersebut tidak dapat dijumpai ciri
yang dimaksudkan.
Misalnya di lingkungan percandian Dieng dan Gedong Songo,
setiap candi tidak dilengkapi dengan 3 Candi Perwara di hadapannya,
melainkan terdapat satu bangunan saja yang denahnya empat persegi
panjang, kasus demikian terjadi pada Candi Arjuno yang berhadapan dengan Candi Semar.
Di kompleks Gedong Songo terdapat Candi Gedong Songo II yang berhadapan
dengan struktur kaki candi berdenah empat persegi panjang, dahulu
mungkin merupakan candi perwaranya.
Candi Gedong Songo I, justru tidak
terdapat relung di sisi luarnya, dan terlihat adanya sisa pagar langkan
di bagian tepian pradaksinapathanya, jadi mirip dengan bentuk arsitektur
candi Buddha. Hanya saja karena candi-candi lainnya di kelompok
percandian Gedong Songo tersebut bernafaskan agama Hindu-śaiva, maka
candi Gedong Songo I pun digolongkan sebagai candi Hindu-śaiva pula.
Dalam
pada itu terdapat pula candi-candi Buddha penting di wilayah Jawa
bagian tengah, candi-candi itu ada yang dipandang menarik dari sudut
arsitekturnya selain stupa Borobudur yang tidak ada duanya lagi di dunia.
Candi Borobudur
sebenarnya merupakan gabungan antara bentuk punden berundak yang
dihiasi dengan stupa-stupa, stupa induk berada di puncak pundek
seakan-akan menjelma menjadi mahkota bagi punden berundak khas bangunan
suci masa prasejarah Indonesia (Wirjosuparto 1964: 53—54).
Candi-candi Buddha ada yang mempunyai denah empat persegi panjang dalam ukuran besar (Candi Sari, Plaosan Lor, dan Banyunibo),
sedangkan candi Hindu hanya berukuran kecil saja (Candi Semar dan Gedong Songo IIIc).
Terdapat pula candi-candi Buddha yang dilengkapi dengan banyak Perwara,
misalnya Candi Lumbung, Sewu, Plaosan Lor, dan Kidal, sedangkan candi
Hindu hanya Prambanan saja yang dilengkapi banyak Perwara.
Gambaran umum percandian Buddha di Jawa bagian tengah antara lain:
- Percandian Ngawen + abad ke-9 Magelang
- Candi Kalasan + abad ke-8 Sleman
- Candi Sari (candi Bendah) + abad ke-8 Sleman
- Stupa Borobudur + abad ke-9 Magelang
- Candi Pawon + abad ke-9 Magelang
- Candi Mendut + abad ke-9 Magelang
- Percandian Lumbung + abad ke-9 Sleman
- Candi Bubrah sekitar tahun 782 M Sleman
- Percandian Sewu (Manjusrigrha) tahun 792 M Sleman
- Percandian Plaosan Lor + abad ke-10 Klaten
- Percandian Plaosan Kidul + abad ke-10 Klaten
- Candi Sajiwan + abad ke-9 Klaten
- Percandian Banyunibo + abad ke-9 Sleman
- Stupa Dawangsari + abad ke-10 Sleman
Setelah membicarakan beberapa candi Buddha penting di wilayah Jawa
bagian tengah, kronologi relatif, dan lokasinya sekarang ini,
selanjutnya diperhatikan beberapa ciri penting dari candi-candi Buddha.
Dinamakan penting karena cirri-ciri itulah yang secara umum hadir pada
candi-candi Buddha, yaitu:
Ciri-ciri penting candi Buddha
- Bangunan candi induk dikelilingi oleh candi perwara di sekitarnya
- Lantai pradaksinapatha relatif lebar dan di bagian tepinya mempunyai pagar langkan (vedika)
- Pada bagian tubuh candi terdapat lubang-lubang yang tembus seakan-akan berfungsi sebagai ventilasi, selain terdapat relung-relung di dinding luarnya
- Mempunyai komponen bangunan berbentuk stupa, terutama di bagian atap
- Dilengkapi dengan arca-arca yang bersifat bauddha
- Di bilik candinya, menempel di dinding belakang terdapat “pentas persajian” , untuk meletakkan arca.
- Tidak mempunyai perigi sebagaimana yang dijumpai pada candi Hindu
- Pada beberapa candi besar halaman percandian diperkeras dengan hamparan balok batu, hal itu dapat ditafsirkan bahwa di masa silam pernah terjadi ritual yang banyak menyita aktivitas di halaman tersebut.
Demikianlah apabila diperhatikan secara seksama terdapat perbedaan
antara candi-candi Hindu-śaiva dan Buddha Mahayana di masa Klasik Tua di
Jawa bagian tengah.
Perbedaan itulah yang dapat disebut langgam atau
gaya, jadi di Jawa bagian tengah antara abad ke-8—10 candi-candi
dibangun dengan dua langgam, yaitu langgam candi Hindu atau langgam
candi Buddha. Pendapat R.Soekmono dalam hal
ini dapat dikembangkan lebih lanjut, bahwa langgam candi Jawa tengah itu
ternyata dapat dibagi menjadi 2 lagi.
Sebenarnya kedua langgam itu
telah mengalami gejala perpaduan di kompleks Prambanan, sebab ciri-ciri
candi Hindu dan Buddha dapat ditemukan secara bersama-sama di gugusan
candi Prambanan.
Sejalan dengan pendapat J.G.de Casparis akhirnya terjadi perkawinan antara anggota “keluarga Sanjaya”
yang Hindu dan anggota Śailendravamsa yang beragama Buddha. Perkawinan
dua keluarga tersebut kemudian diwujudkan dengan mendirikan bangunan
suci yang bercorak dua agama, yaitu percandian Prambanan atau Śivagrha dalam tahun 856 M (Sumadio 1984).
IV
Setelah kerajaan berkembang di wilayah Jawa bagian timur, maka
bermacam aktivitas keagamaan pun beralih ke wilayah tersebut. Bangunan
suci pun kemudian dibangun oleh masyarakat masa itu di lokasi-lokasi
yang dipandang sakral melanjutkan tradisi Klasik Tua, seperti di
pertemuan dua aliran sungai, daerah dataran tinggi dan pegunungan, dan
dekat sumber-sumber air (mata air).
Hal yang menarik di daerah malang sampai sekarang masih terdapat bangunan candi dengan Langgam candi Hindu Klasik Tua –sebagaimana yang terdapat pada candi Hindu-saiva di Jawa Tengah, yaitu Candi badut.
Candi ini dihubungkan dengan Prasasti Dinoyo yang bertarikh 760 M. Dalam prasasti itu diuraikan adanya Kerajaan Kanjuruhan, Raja yang mengeluarkan prasasti itu adalah Gajayana
yang beragama Hindu-saiva.
Sehubungan dengan sebab tertentu yang belum
dapat diperjelaskan, Kanjuruhan runtuh mungkin masih dalam abad ke-8
juga, kemudian uraian sejarahnya tidak dapat diketahui lagi
Tinggalan
arsitektur tertua setelah Mataram ibu kota berlokasi di Jawa bagian
timur antara abad ke-10—11 M sebenarnya cukup langka, dua di antaranya
yang penting adalah petirthān kuno, yaitu Jalatunda (abad ke-10 M) yang terletak di lereng barat Gunung Penanggungan dan Belahan terletak di lereng timurnya (abad ke-11 M).
Kedua petirthan tersebut sampai sekarang masih mengalirkan air walaupun
sudah tidak deras lagi. Menilik gaya arsitektur, relief dan seni
arcanya patirthǎn Jalatunda dan Belahan dapat digolongkan sebagai karya
arsitektur tertua di Jawa Timur setelah periode Kanjuruhan.
Satu runtuhan candi yang semula merupakan patirthǎn pula adalah candi Sanggariti
yang berlokasi di daerah Batu, Malang. Hanya saja candi penting dari
sekitar abad ke-10 tersebut sudah tidak terurus lagi, sebagian
bangunannya (tubuh dan atapnya telah hilang).
Sisa bangunan candi yang diperkirakan didirikan oleh raja Pu Sindok (929—947 M) adalah candi Lor yang terbuat dari bata di wilayah Kabupaten Nganjuk sekarang. candi Gurah di wilayah Kediri pernah ditemukan dalam penggalian arkeologi tahun 1969, bangunannya hanya tinggal pondasinya saja, sedangkan arca-arcanya dalam keadaan cukup baik, yaitu arca Brahma, Surya, Candra, dan Nandi.
Bangunan Candi Gurah diperkirakan berasal dari Kerajaan Kadiri (abad ke-12 M),
candi itu masih berlanggam candi Hindu Klasik Tua karena di depan candi
induknya terdapat 3 candi perwara masing-masing mempunyai pondasi yang
terpisah.
Ujung pipi tangganya dihias dengan makara, suatu yang lazim
pada candi-candi Jawa tengah, sedangkan arca-arcanya mirip dengan gaya
seni arca Singhasari, oleh karena itu Soekmono menyatakan bahwa
arsitektur candi Gurah merupakan mata rantai penghubung antara gaya
bangunan candi masa Klasik Tua di Jawa Tengah dan masa Klasik Muda di
Jawa bagian timur (Soekmono 1969: 4—5, 16—17).
Bangunan candi di wilayah Jawa bagian timur yang relatif masih utuh kebanyakan berasal dari periode Singhasari (abad ke-13 M) dan Majapahit (abad ke-14–15 M). Candi-candi yang dihubungkan dengan periode Kerajaan Singhasari yang masih bertahan hingga kini adalah Candi Sawentar (Blitar), Kidal, Singhasari, Stupa Sumberawan (Malang), dan candi Jawi (Pasuruan).
Adapun candi-candi dari era Majapahit yang masih dapat diamati wujud bangunannya walaupun banyak yang tidak utuh lagi, adalah:
- Candi Sumberjati (Simping) Abad ke-14 M Blitar
- Candi Ngrimbi (Arimbi) s.d.a Jombang
- Candi Panataran (Rabut Palah) s.d.a Blitar
- Candi Surawana s.d.a Kediri
- Candi Tegawangi s.d.a Kediri
- Candi Kali Cilik s.d.a Blitar
- Candi Bangkal s.d.a Mojokerto
- Candi Ngetos s.d.a Nganjuk
- Candi Kotes s.d.a Blitar
- Candi Gunung Gangsir s.d.a Pasuruan
- Candi Jabung s.d.a Probolinggo
- Candi Kedaton Abad ke-15 M Probolinggo
- Candi Brahu s.d.a Trowulan/Mojokerto
- Candi Tikus s.d.a s.d.a
- Gapura Bajang ratu s.d.a s.d.a
- Gapura Wringin Lawang s.d.a s.d.a
- Candi Pari Abad ke-14 M Sidoarjo
- Candi Pamotan Abad ke-15 M Mojokerto
- Candi Dermo s.d.a s.d.a
- Candi Kesiman Tengah s.d.a s.d.a
- Candi Sanggrahan Abad ke-14 M Tulungagung
- Candi Mirigambar s.d.a s.d.a
- Candi Bayalango s.d.a s.d.a
- Punden berundak di Penanggungan Abad ke-15—16 M Mojokerto
Berdasarkan wujud arsitektur yang masih bertahan hingga kini, maka
bangunan suci Hindu-Buddha di wilayah Jawa Timur yang berkembang antara
abad ke-13—16 M dapat dibagi ke dalam 5 gaya, yaitu
(1) Gaya
Singhasari,
(2) Gaya Candi Brahu,
(3) Gaya Candi Jago,
(4) “Candi
Batur”, dan (
5) Punden berundak.
Untuk lebih jelasnya ciri setiap gaya
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Gaya Singhasari
Dinamakan demikian karena wujud arsitektur yang menjadi ciri gaya ini mulai muncul dalam zaman kerajaan Singhasari dan terus bertahan hingga zaman Majapahit. Ciri yang menonjol dari Gaya Singhasari adalah:
- Bangunan candi utama terletak di tengah halaman, atau di daerah tengahnya yang sering tidak terlalu tepat.
- Bangunan candi terbagi 3 yang terdiri dari bagian kaki (upapitha), tubuh (stambha), dan atap yang berbentuk menjulang tinggi dengan tingkatan yang berangsur-angsur mengecil hingga puncak. Seluruh bangunan candi terbuat dari bahan tahan lama, seperti batu, bata, atau campuran batu dan bata.
- Ruang atau bilik utama terdapat di bagian tengah bangunan, terdapat juga relung di dinding luar tubuh candi tempat meletakkan arca dewata.
Contoh gaya Singhasari adalah: Candi Sawentar, Kidal, Jawi, Singhasari (memiliki keistimewaan), Angka Tahun Panataran, Kali Cilik, Ngetos, dan Bangkal.
2. Gaya Brahu
Brahu adalah nama candi bata yang terletak di situs Trowulan, bentuk bangunannya unik, karena arsitekturnya baru muncul dalam zaman Majapahit.
Dalam masa sebelumnya baik di era Singhasari atau Mataram Kuno bentuk
arsitektur demikian belum dikenal. Dapat dipandang sebagai corak
arsitektur tersendiri karena selain Candi Brahu candi yang sejenis itu
masih ada lagi dalam zaman yang sama. Ciri Gaya Brahu adalah:
- Bagian kaki candi terdiri atas beberapa teras (tingkatan), teras atas lebih sempit dari teras bawahnya.
- Tubuh candi tempat bilik utama didirikan di bagian belakang denahnya yang bentuk dasarnya empat persegi panjang.
- Seluruh bangunan dibuat dari bahan yang tahan lama, umumnya bata.
Termasuk kelompok Gaya Brahu adalah Candi Brahu, Jabung, dan Gunung Gangsir. Dalam pada itu di wilayah Padang Lawas, Sumatra Utara terdapat sekelompok bangunan suci dengan Gaya Brahu pula, dinamakan dengan Biaro Bahal yang jumlahnya lebih dari 3 bangunan. Dengan demikian dapat diperkirakan bahwa biaro-biaro di Padang Lawas tersebut didirikan dalam masa perkembangan Majapahit pula.
3. Gaya Jago
Candi Jago terletak di Malang, arca-arcanya berlanggam seni Singhasari
dengan adanya tokoh yang diapit oleh sepasang teratai yang keluar dari
bonggolnya, namun gaya bangunannya tidak sama dengan dua macam gaya yang
telah disebutkan terdahulu.
Menilik bentuk bangunannya yang berbeda
dengan dua gaya lainnya, maka Candi Jago bersama beberapa candi
lainnya yang sejenis termasuk ke dalam gaya seni arsitektur tersendiri.
Untuk memudahkannya gaya arsitektur itu dinamakan dengan Gaya Jago,
dengan Candi Jago sebagai contoh terbaiknya.
Ciri-ciri penting Gaya Jago adalah:
- Kaki candi berteras 1, 2 atau 3 dengan denah dasar empat persegi panjang.
- Bilik utama didirikan di bagian tengah teras teratas atau bergeser agak ke belakang teras teratas.
- Atap tidak dijumpai lagi, diduga terbuat dari bahan yang cepat rusak (ijuk, bambu, kayu, dan lain-lain), bentuknya menjulang tinggi bertingkat-tingkat dalam bahasa Jawa Kuno dikenal dengan prasadha. Bentuk seperti ini masih dikenal di Bali dan digunakan untuk menaungi bangunan meru, pelinggih dan pesimpangan di kompleks pura.
Bangunan candi yang termasuk kelompok Gaya Jago adalah: Candi Jago, Candi Induk Panataran, Sanggrahan, dan Kesiman Tengah.
4. “Candi Batur”
Dinamakan demikian karena bentuknya hanya merupakan suatu bangunan 1 teras sehingga membentuk seperti siti inggil atau batur.
Sekarang hanya tersisa batur itu saja dengan tangga di salah satu
sisinya, denahnya bias berberntuk bujur sangkar dan dapat pula berbentuk
empat persegi panjang.
Di bagian permukaan batur biasanya terdapat
objek sakral,
antara lain berupa lingga-yoni, altar persajian, pedupaan berbentuk candi kecil atau juga arca perwujudan tokoh yang telah meninggal.
Contoh bangunan candi seperti itu adalah Candi Kedaton di Probolinggo, Candi Kedaton di Trowulan, Candi Miri Gambar, Tegawangi, Surawana, Papoh (Kotes), dan Pasetran di lereng utara Gunung Penanggungan.
5. Punden berundak
Adalah bangunan teras bertingkat-tingkat meninggi yang menyandar di
kemiringan lereng gunung. Ukuran teras semakin mengecil ke atas, jumlah
teras umumnya 3 dan di bagian puncak teras teratas berdiri altar-altar
persajian yang jumlahnya 3 altar
(1 altar induk diapit dua altar pendamping di kanan-kirinya).
Tangga naik ke teras teratas terdapat di bagian tengah punden berundak,
terdapat kemungkinan dahulu di kanan kiri tangga tersebut berdiri
deretan arca menuju ke puncak punden yang berisikan altar tanpa arca
apapun.
Contoh yang baik bentuk punden berundak masa Majapahit terdapat
di lereng barat Gunung Penanggungan, penduduk menamakan punden-punden itu dengan candi juga,
misalnya Candi Lurah (Kepurbakalaan No.1), Candi Wayang (Kep. No.VIII), Candi Sinta (Kep.No.17a), Candi Yuddha (Kep.No.LX), dan Candi Kendalisada (Kep.No.LXV).
Selain di Gunung Penanggungan terdapat pula beberapa punden berundak di lereng timur Gunung Arjuno,
hanya saja dinding teras-terasnya disusun dari batu-batu alami, tanpa dibentuk dahulu menjadi balok-balok batu.
Penggolongan bentuk arsitektur candi-candi di Jawa Timur tersebut berdasarkan pengamatan terhadap sisa bangunan yang masih ada sekarang, mungkin di masa silam lebih banyak lagi bentuk arsitektur yang lebih unik dan menarik, hanya saja tidak tersisa lagi wujudnya.
Penggolongan bentuk arsitektur candi-candi di Jawa Timur tersebut berdasarkan pengamatan terhadap sisa bangunan yang masih ada sekarang, mungkin di masa silam lebih banyak lagi bentuk arsitektur yang lebih unik dan menarik, hanya saja tidak tersisa lagi wujudnya.
Terdapat juga bangunan
candi yang tidak dapat digolongkan ke dalam bentuk arsitektur manapun,
misalnya Candi Pari yang bangunannya melebar dan tinggi, mirip dengan bangunan suci yang terdapat di Champa (Indo-China).
Mungkin saja dahulu terdapat pengaruh gaya bangunan Champa yang masuk ke Majapahit,
hal itu agaknya sejalan dengan berita tradisi yang mengatakan bahwa
raja Majapahit pernah menikah dengan seorang putri Champa.Bangunan lain
yang juga unik adalah Candi Sumur di dekat Candi Pari, dinamakan demikian karena ruang utamanya berupa lubang sumur yang berair. Candi Sumur mempunyai padanannya pada Candi Sanggariti di Batu, Malang, namun dari kronologi yang jauh berbeda.
V
Aktivitas keagamaan Hindu-Buddha di Jawa masa silam tentunya cukup
bergairah, terbukti dengan ditemukannya banyak peninggalan bangunan suci
dari kedua agama itu baik di wilayah Jawa bagian tengah ataupun timur.
Para ahli arkeologi dan sejarah kuno telah sepakat untuk menyatakan
bahwa munculnya berbagai karya arsitektur bangunan suci itu sebenarnya
sejalan dengan keberadaan pusat kerajaan sezaman.
Ketika pusat kerajaan
berada di Jawa Tengah, candi-candi Hindu-Buddha banyak dibangun di
wilayah tersebut, dan ketika pusat-pusat kerajaan muncul di Jawa Timur,
pembangunan candi-candi pun banyak dilakukan di wilayah Jawa Timur.
Gaya arsitektur bangunan candi ketika pusat Kerajaan Mataram masih
berlokasi di Jawa Tengah, lebih didasarkan pada latar belakang agamanya.
Maka dari itu terdapat Langgam Candi Hindu-saiva dan Langgam Candi Buddha Mahayana.
Lain halnya ketika pusat-pusat kerajaan telah berada di Jawa Timur,
perbedaan gaya bangunan suci itu tidak didasarkan kepada perbedaan agama
lagi, baik candi Hindu ataupun Buddha gaya arsitekturnya sama, hal yang
membedakannya hanya terletak pada arca-arca yang dahulu disemayamkan di
dalamnya.
Mungkin kenyataan ini sejalan dengan konsep Siwa-Buddha bahwa sebenarnya dalam hakekat tertinggi sebenarnya tidak ada lagi perbedaan antara Siwa dan Buddha, oleh karena itu tidak perlu adanya perbedaan secara tegas terhadap wujud bangunan sucinya.
Satu masalah penting yang perlu kajian lebih lanjut adalah apa yang terjadi di wilayah Jawa bagian tengah ketika Kadiri, Singhasari dan Majapahit
berkembang di Jawa Timur?, apakah Jawa Tengah sepi dari aktivitas
keagamaan?, apakah masih dihuni oleh penduduk?, mengapa tidak ada sumber
sejarah dan arkeologi yang ditemukan di wilayah Jawa Tengah antara abad
ke-11—14?.
Demikianlah terdapat masalah yang menarik untuk
diungkapkan di masa mendatang, bahwa tidak mungkin wilayah tua di Jawa
bagian tengah bekas tempat kedudukan para Syailendra itu tiba-tiba sepi
saja, ketika kerajaan-kerajaan berkembang di Jawa bagian timur.
Penelisika untuk menjelaskan permasalahan itu masih terbuka, dan
mengundang para ahli yang berminat untuk mengeksplorasinya lebih lanjut.
ditulis oleh : Agus Aris Munandar
Pengajar di Departemen Arkeologi
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
Pengajar di Departemen Arkeologi
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
PUSTAKA ACUAN
Munandar, Agus Aris, 2003, Aksamala: Bunga Rampai Karya Penelitian. Bogor: Akademia.
—————–, 2004, “Menggapai Titik Suci: Interpretasi Semiotika
Perpindahan Pusat Kerajaan Mataram Kuno”, dalam dalam T.Christomy &
Untung Yuwono (Penyunting), Semiotika Budaya. Depok: Pusat
Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Direktorat Riset dan Pengabdian
Masyarakat Universitas Indonesia. Halaman 161—180.
Soekmono, R., 1969, Gurah, The Link Between The Central and The
East-Javanese Arts. Bulletin of the Archaeological Institute of the
Republic of Indonesia No.6. Djakarta: Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional.
——————, 1986, “Local Genius dan Perkembangan Bangunan Sakral di Indonesia”, dalam Ayatrohaedi (Penyunting), Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Pustaka Jaya. Halaman 228—246.
—————–, 1997, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Yogyakarta: Kanisius.
Sumadio, Bambang (Penyunting jilid), 1984, Sejarah Nasional Indonesia II: Jaman Kuna. Jakarta: Balai Pustaka.
Wirjosuparto, Sutjipto, 1964, Glimpses of Cultural History of Indonesia. Djakarta: Indira.
detil sekali
BalasHapus