Rabu, 26 Februari 2014

Patirthan Jolotundo ; Monumen Cinta Kasih di Lereng Penanggungan


Patirthan Jolotundo - Trawas Mojokerto
  Candi Jolotundo merupakan bangunan Patirtan yang secara geografis berada di ketinggian 800 Mdpl tepatnya di lereng barat Gunung Penanggungan.tepatnya  di Dukuh Balekambang, Desa Seloliman, Kecamatan Trawas, Mojokerto.
Akses Jalan menuju situs sejarah ini dapat ditempuh via Trawas dengan menyisiri lereng gunung Penanggungan dengan jalan yang berkelok-kelok dengan pemandangan yang indah khas pegunungan 
atau bisa juga ditempuh via Ngoro Industri Park dengan akses jalan raya dilanjut perkampungan penduduk dengan ancar-ancar mengikuti petunjuk arah PPLH Seloliman yang hanya berjarak sekitar 2 km dari Petirtan Jolotundo. 
 Jarak dari kota Surabaya +55km, dapat di capai dengan kendaraan pribadi roda 2 maupun roda 4
Akses Jalan dan Pemandangan Menuju Patirtan Jolotundo

 Dalam masyarakat Jawa Kuno dikenal adanya dua macam patirthan, yaitu 
(a) patirthān yang digunakan untuk keperluan sehari-hari, untuk mandi, memasak, sumber air minum, mencuci dan sebagainya.
(b) patirthān yang bersifat sakral untuk keperluan upacara keagamaan, dan juga kerapkali airnya  digunakan untuk keperluan praktis sehari-hari. 
Dalam penelitian arkeologi Hindu-Buddha Indonesia, untuk membedakan antara petirthaan biasa dan petirthaan suci memang agak sukar, 
mungkin untuk keperluan sehari-hari masyarakat menggunakan air sungai, atau kolam yang lebar, 
akan tetapi jika ada mata air yang terbit dengan sendirinya di lereng gunung tertentu, maka dapat dianggap sebagai mata air sakral yang airnya dapat digunakan untuk keperluan upacara agama. 
Hal yang kedua pembeda itu adalah, biasanya mata air yang dipandang sakral akan dilengkapi dengan struktur arsitektur, dilengkapi arca-arca, dindingnya dihias relief dan sebagainya. 
Struktur tambahan itu dapat dibuat dari susunan balok batu, atau juga dari susunan bata.



Gunung Penanggungan atau nama Jawa Kunonya Pawitra terletak di selatan Mojokerto, Jawa Timur, merupakan gunung yang mempunyai keistimewaan dalam wujudnya. 
Gunung tersebut tidak terlalu tinggi (1659 m), namun memiliki keunikan tersendiri. 
Gunung Penanggungan dikelilingi oleh 4 bukit di sekitarnya 
(Bukit Bekel, Gajah Mungkur, Jambe, dan Kemuncup), 
di keempat arah mata angin, dengan demikian jika dipandang dari arah manapun akan terlihat adanya satu puncak tertinggi (puncak Pawitra) dan 2 puncak bukit lain di sisi kanan-kirinya.

Keadaan geografi seperti itu tentu sudah dikenal oleh masyarakat Jawa Kuno dalam masa Hindu-Buddha. Oleh karena itu gunung tersebut lalu dipandang sebagai gunung keramat, suci, 
dan merupakan jelmaan Mahāmeru. 
Sebagaimana diajarkan dalam kitab Brahmana dan juga dikenal dalam Buddhisme bahwa alam semesta ini berbentuk seperti piringan pipih melingkar, titik pusatnya adalah Gunung Mahāmeru. 
Gunung Mahāmeru dikelilingi oleh puncak-puncak gunung lainnya di arah mata angin,
baik mata angin primer ataupun sekunder.

 Kesakralan Pawitra kemudian dikokohkan lagi dalam uraian kitab Tantu Panggelaran yang digubah di awal abad ke-16, ketika pengaruh budaya Hindu-Buddha mulai surut dalam masyarakat Jawa. 
Dinyatakan dalam Tantu Panggelaran bahwa para dewa sepakat untuk menyetujui bahwa manusia dapat berkembang di Pulau Jawa, namun pulau itu selalu bergoncang-goncang karena diterpa ombak lautan, 
untuk mengajegkan Jawa para dewa lalu beramai-ramai memindahkan Gunung Mahāmeru dari Jambhudwipa ke Jawadwipa. 
Mereka mengangkat Mahāmeru dan membawanya terbang di udara. Dalam perjalanan melayang tersebut sebagian dari tubuh Mahāmeru ada yang rontok berjatuhan, maka menjelmalah menjadi gunung-gemunung di Pulau Jawa, sejak dari Jawa bagian barat, tengah dan timur. 
Tubuhnya yang berat dan besar dijatuhkan menjelma menjadi Gunung Semeru (Sumeru), 
sedangkan puncak Mahāmeru dihempaskan para dewa menjelma menjadi Pawitra, atau Gunung Penanggungan sekarang (Pigeaud 1924: 100).
 Oleh karena itulah Pawitra menjadi gunung yang sangat keramat dan angker dalam pemikiran masyarakat Jawa masa Hindu-Buddha, karena puncaknya Mahameru yang telah dipindah ke Jawa.

Di lereng sebelah barat gunung penanggungan/Pawitra ini terdapat sebuah peninggalan sejarah berupa Patirtan Jolotundo, adalah salah satu peninggalan sejarah kerajaan sebelum Majapahit. 
Keberadaan Patirtan Jolotundo sendiri sebenarnya hendak menyatakan bahwa air yang memancar dari petirthaan tersebut sebenarnya adalah amerta yang seakan-akan keluar dari tubuh Mahameru. 
Air amerta merupakan air yang diperlukan dalam kehidupan manusia dan juga para dewa, 
air itu dapat digunakan untuk berbagai kebaikan manusia.
Situs berupa candi dengan air yang mengalir dari berbagai sudut candi Berukuran panjang : 16,85 m, lebar: 13,52 m dan kedalaman: 5,20 m. 
Terbuat dari batu Andesit yang dipahat halus oleh tangan terampil, 
memiliki 52 pancuran air yang mengeluarkan airnya sepanjang musim.
Dibuat pada tahun 997 Masehi. Zaman Airlangga pada masa kejayaan Kerajaan Kahuripan.
Kahuripan adalah nama yang lazim dipakai untuk sebuah kerajaan di Jawa Timur
yang didirikan oleh Airlangga pada tahun 1009.
Kerajaan ini dibangun sebagai kelanjutan Kerajaan Medang yang runtuh tahun 1006.

 Nama Airlangga berarti "Air yang melompat". Ia lahir tahun 990
Ayahnya bernama Prabu Udayana, raja Kerajaan Bedahulu dari Wangsa Warmadewa.
 Ibunya bernama Mahendradatta, atau dikenal dengan nama Gunapriya Dharmapatni,
seorang putri Wangsa Isyana dari Kerajaan Medang
Waktu itu Medang menjadi kerajaan yang cukup kuat, bahkan mengadakan penaklukan ke Bali, 
mendirikan koloni di Kalimantan Barat, serta mengadakan serangan ke Sriwijaya. 


Patirtan Jolotundo-Trawas Mojokerto


Dua data sejarah yang sangat penting yang berhubungan dengan kepurbakalaan ini adalah angka 997 M yang dipahatkan di sebelah kanan Angka tahun 899 saka 
di dinding sebelah kiri alias 977 masehi dan tulisan Gempeng di sebelah kiri dinding belakang. 

kata terbaca Gempeng di dinding atas sebelah kanan , menurut tafsiran para ahli yang mengatakan bahwa gempeng berarti lebur. Bila dilihat dari aspek arsitektur pembangunan petirtaan ini maka kata gempeng dapat diartikan sebagai melebur atau memotong. Hal ini disebabkan petirtaan ini dibangun dengan memotong lereng gunung sehingga bangunan ini seakan-akan melebur menjadi satu kesatuan dengan Gunung Penanggungan.

Angka tahun 899 saka di dinding sebelah kiri alias 977 masehi


Candi ini merupakan Monumen Cinta Kasih Raja Udayana untuk menyambut kelahiran anaknya, Prabu Airlangga, yang dibangun 997 M. 
Sumber lain menyebutkan bahwa candi ini adalah tempat pertapaan Airlangga setelah mengundurkan diri dari singgasana dan diganti anaknya,
 ada juga sumber yang menyatakan konon dahulu ketika Raja Airlangga masih muda,
 beliau pernah singgah ke daerah Jolotundo untuk menenangkan jiwanya, 
beliau mandi di sumber air tersebut dan merasa tentram jiwanya ketika selesai mandi.
 
Dahulu di bagian puncak batur utama terdapat deretan panil relief yang juga berfungsi sebagai jaladwara sebagaimana yang telah dikemukakan terdahulu. Sekarang panil-panil relief tersebut sudah tidak lengkap lagi, hanya sebagian kecil saja yang berada di posisi aslinya di Jalatunda, sebagian lagi disimpan di Museum Nasional Jakarta, dan sebagian lagi telah hilang. Cerita yang dipahatkan berupa sinopsis dari adegan-adegan dalam kisah Mahabharata, ada yang menggambarkan Bhima sedang mengamuk mungkin dalam kaitan kisah Sayembara Dewi Drupadi, ada pula adegan yang menggambarkan kisah Dewi Mrgayawati dengan Raja Udayana dan penggambaran Garuda dalam rangkaian kisah Kathasaritsagara.


Tingkat pertama yang teratas merupakan tempat mata air utama yang menggelontor ke luar dari lereng Gunung Penanggungan. Dahulu di lapik arca yang sekarang kosong, pernah bertahta arca sesuatu dewa yang sekarang telah hilang. Di belakang lapik tersebut masih terdapat sisa prabhamandala yang berbentuk lingkaran. Tahta tempat lapik arca tersebut berada di batur yang lebih tinggi dari permukaaan air kolam tingkat I, pada bagian puncak batur terdapat deretan panil relief seperti simbar besar melebar, di bagian tengahnya terdapat lubang untuk memancarkan air keluar. Di sudut-sudut batur terdapat jaladwara yang berbentuk mulut makara sebagai tempat memancurkan air pula.


Patirthān Jalatunda dipandang dari lereng atas ke arah kolam penampungan air (kolam utama)

 Di sisi utara batur dan terdapat bilik dari susunan balok batu, mempunyai celah pintu di sisi barat, 
jika seseorang memasukinya maka ia memasuki kolam kecil yang ditutup tembok batu bilik itu.
Sekarang bilik kolam itu tidak mempunyai atap lagi, namun diduga di masa lalu ketika masih berfungsi terdapat tiang-tiang penopang atap yang terbuat dari bahan yang cepat lapuk, 
oleh karena itu bagian atap bilik sudah tidak ada lagi sisanya.
Di sisi timur di bagian atas bilik, tentunya di masa silam pernah bertahta arca Garuda yang juga berfungsi sebagai jaladwara
sangat mungkin air dahulu memancar keluar dari paruh Garuda tersebut. Arca Garuda sekarang telah tiada, namun masih ada yang tersisa, yaitu pahatan yang berbentuk sayap burungnya saja.

Bilik mandi yang dipercaya dulunya digunakan oleh Sang Ratu berendam kini digunakan mandi oleh wanita.

 Begitupun yang terdapat di selatan batur terdapat kolam berbilik batu juga, keadaannya sama dengan yang berada di kolam utara, 
hanya saja yang membedakannya adalah arca yang terletak di bagian atas kolam. 
 Dahulu yang bersemayam di kolam selatan adalah arca Naga, arca tersebut sekarang masih ada, digambarkan Naga yang sedang menegakkan kepalanya dan menghadap ke arah kolam. 
Dahulu dari mulut Naga tentunya memancar air ke arah kolam, jadi berfungsi juga sebagai jaladwara
hanya saja kepala Naga tersebut, bagian mulutnya telah rusak terpotong.
Bilik mandi yang dipercaya dulunya digunakan oleh Sang Raja berendam kini digunakan mandi oleh pria


Disekitar pemandian, nampak bongkahan batu situs berbagai ukuran telah dikumpulkan secara rapi dalam satu tempat khusus. Mestinya bongkahan batu tersebut merupakan bagian bangunan dari situr petirtaan jolotundo, namun karena belum diketahui bagaimana bentuk sebenarnya, maka proses rekonstruksinya belum bisa dilakukan. Beberapa diantara bongkahan tersebut, nampak coba disusun membentuk suatu bagian bangunan.

Ikan koi dengan ukuran jumbo yangberenang dengan bebasnya di petirtan
Di sekitar petirtan, disediakan pendopo dan gazebo untuk menikmati suasana sejuk dan nyaman.
  Petirtan Jolotundo ini juga merupakan pos awal pendakian gunung Penanggungan, oleh karena itu banyak kita temui juga para pecinta alam yang ngecamp di kawasan ini, jarak antara Jolotundo dan puncak gunung Penanggungan sekitar 6,5 km yang bisa ditempuh dalam waktu sekitar 3 jam perjalanan.  
Kawasan Jolotundo juga dapat dijadikan titik awal menuju puluhan candi lain yang tersebar di sepanjang jalur pendakian Gunung Penanggungan.
 Lebih kurang 1 km sebelum candi Jolotundo terdapat Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Seloliman.


Kesegaran Pagi Hari di Petirtan Jolotundo

Menikmati Kesegaran dan Kemurnian Air Berkualitas di Patirtan Jolotundo,
Keunikan petirtaan ini adalah debit airnya yang tidak pernah berkurang meskipun musim kemarau. Berdasarkan penelitian, kualitas airnya masuk kategori terbaik di dunia dan kandungan mineralnya sangat tinggi,juga mengandung tumbuhan rempah-rempah yang sangat baik untuk kesehatan dan kecantikan kulit.

Patirtan Jolotundo adalah salah-satu tempat terfavorit saya, entah sudah tak terhitung berapa kali saya berkunjung kesini untuk sekedar menikmati kesegaran alamnya sekaligus menikmati kesegaran airnya. Sekedar saran... agar puas menikmati eksotisme Petirtan Jolotundo ini berkunjunglah selain hari minggu atau hari libur, dikarenakan pada saat-saat hari libur pengunjung lumayan padat.

Saya dan keluarga apabila esoknya hari libur dan kebetulan bulan purnama malah camping disini :D , kawasan sekitar Petirtan area lapang di bagian depan dan bagian samping-sampingnya ada bagian yang berkontur/berbukit bisa dipilih untuk bercengkrama bersama keluarga/sahabat, saat malam kami menikmati indahnya bulan purnama diiringi gemericik air suci, terasa damai,tenang dan menyatu sekali dengan alam Penanggungan , 
jika merasa lapar atau butuh minuman panas warung pak Dalang yang terletak di dekat pintu masuk buka 24 Jam saat weekend dan waktu-waktu ramai pengunjung. 
Saat pagi sebelum matahari terbit kita bisa merasakan segarnya air di petirtan Jolotundo.

Petirtan Jolotundo juga menjadi pusat kegiatan masyarakat Hindu Mojokerto,Sidoarjo dan daerah lainnya menjelang perayaan Hari Nyepi setiap tahunnya diadakan Tradisi melasti ,sebuah perayaan umat hindu dengan mengadakan perjalanan arak-arakan dari suatu pura dikawasan Jolotundo menuju petirtaan Jolotundo. Tradisi melasti memberi arti sendiri bagi umat hindu yakni menyucikan jagat dan diri segala kegiatan keduniawian sebelum menjelang hari Nyepi.

Bagi masyarakat Jawa sudah menjadi tradisi berkunjung ketika  malam 1 suro atau malam jumat legi, untuk membersihkan diri fisik maupun batin untuk menggapai ketenangan,ketentraman dan pencerahan batin dalam menjalani kehidupan.
Patirtan Jolotundo merupakan warisan aset sejarah yang dimiliki oleh bangsa kita yang merupakan warisan peradaban lampau dari para Leluhur bangsa kita yang memiliki nilai sejarah,budaya dan spiritual yang tak ternilai, sudah menjadi kewajiban kita semua turut menjaga dan melestarikan  peninggalan purbakala ini :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar