Patirthan Jolotundo - Trawas Mojokerto |
Candi Jolotundo merupakan bangunan Patirtan yang secara geografis berada di ketinggian 800 Mdpl tepatnya di lereng barat Gunung Penanggungan.tepatnya di Dukuh Balekambang, Desa Seloliman, Kecamatan Trawas, Mojokerto.
Akses Jalan menuju situs sejarah ini dapat ditempuh via Trawas dengan menyisiri lereng gunung Penanggungan dengan jalan yang berkelok-kelok dengan pemandangan yang indah khas pegunungan
atau bisa juga ditempuh via Ngoro Industri Park dengan akses jalan raya dilanjut perkampungan penduduk dengan ancar-ancar mengikuti petunjuk arah PPLH Seloliman yang hanya berjarak sekitar 2 km dari Petirtan Jolotundo.
Jarak dari kota Surabaya +55km, dapat di capai dengan kendaraan pribadi roda 2 maupun roda 4
Akses Jalan dan Pemandangan Menuju Patirtan Jolotundo |
Dalam masyarakat Jawa Kuno dikenal adanya dua macam patirthan,
yaitu
(a) patirthān yang digunakan untuk keperluan sehari-hari, untuk mandi,
memasak, sumber air minum, mencuci dan sebagainya.
(b) patirthān
yang bersifat sakral untuk keperluan upacara keagamaan, dan juga
kerapkali airnya digunakan untuk keperluan praktis sehari-hari.
Dalam
penelitian arkeologi Hindu-Buddha Indonesia, untuk membedakan antara
petirthaan biasa dan petirthaan suci memang agak sukar,
mungkin untuk
keperluan sehari-hari masyarakat menggunakan air sungai, atau kolam yang
lebar,
akan tetapi jika ada mata air yang terbit dengan sendirinya di
lereng gunung tertentu, maka dapat dianggap sebagai mata air sakral yang
airnya dapat digunakan untuk keperluan upacara agama.
Hal yang kedua
pembeda itu adalah, biasanya mata air yang dipandang sakral akan
dilengkapi dengan struktur arsitektur, dilengkapi arca-arca, dindingnya
dihias relief dan sebagainya.
Struktur tambahan itu dapat dibuat dari
susunan balok batu, atau juga dari susunan bata.
Gunung Penanggungan atau nama Jawa Kunonya Pawitra terletak di
selatan Mojokerto, Jawa Timur, merupakan gunung yang mempunyai
keistimewaan dalam wujudnya.
Gunung tersebut tidak terlalu tinggi (1659
m), namun memiliki keunikan tersendiri.
Gunung Penanggungan dikelilingi
oleh 4 bukit di sekitarnya
(Bukit Bekel, Gajah Mungkur, Jambe, dan
Kemuncup),
di keempat arah mata angin, dengan demikian jika dipandang
dari arah manapun akan terlihat adanya satu puncak tertinggi (puncak
Pawitra) dan 2 puncak bukit lain di sisi kanan-kirinya.
Keadaan geografi seperti itu tentu sudah dikenal oleh masyarakat Jawa
Kuno dalam masa Hindu-Buddha. Oleh karena itu gunung tersebut lalu
dipandang sebagai gunung keramat, suci,
dan merupakan jelmaan Mahāmeru.
Sebagaimana diajarkan dalam kitab Brahmana dan juga dikenal dalam
Buddhisme bahwa alam semesta ini berbentuk seperti piringan pipih
melingkar, titik pusatnya adalah Gunung Mahāmeru.
Gunung Mahāmeru
dikelilingi oleh puncak-puncak gunung lainnya di arah mata angin,
baik mata angin primer ataupun sekunder.
baik mata angin primer ataupun sekunder.
Kesakralan Pawitra kemudian dikokohkan lagi dalam uraian kitab Tantu Panggelaran yang digubah di awal abad ke-16, ketika pengaruh budaya Hindu-Buddha mulai surut dalam masyarakat Jawa.
Dinyatakan dalam Tantu Panggelaran
bahwa para dewa sepakat untuk menyetujui bahwa manusia dapat berkembang
di Pulau Jawa, namun pulau itu selalu bergoncang-goncang karena diterpa
ombak lautan,
untuk mengajegkan Jawa para dewa lalu beramai-ramai
memindahkan Gunung Mahāmeru dari Jambhudwipa ke Jawadwipa.
Mereka
mengangkat Mahāmeru dan membawanya terbang di udara. Dalam perjalanan
melayang tersebut sebagian dari tubuh Mahāmeru ada yang rontok
berjatuhan, maka menjelmalah menjadi gunung-gemunung di Pulau Jawa,
sejak dari Jawa bagian barat, tengah dan timur.
Tubuhnya yang berat dan
besar dijatuhkan menjelma menjadi Gunung Semeru (Sumeru),
sedangkan
puncak Mahāmeru dihempaskan para dewa menjelma menjadi Pawitra, atau
Gunung Penanggungan sekarang (Pigeaud 1924: 100).
Oleh karena itulah
Pawitra menjadi gunung yang sangat keramat dan angker dalam pemikiran
masyarakat Jawa masa Hindu-Buddha, karena puncaknya Mahameru yang telah
dipindah ke Jawa.
Di lereng sebelah barat gunung penanggungan/Pawitra ini terdapat sebuah peninggalan sejarah berupa Patirtan Jolotundo, adalah salah satu
peninggalan sejarah kerajaan sebelum Majapahit.
Keberadaan Patirtan Jolotundo sendiri sebenarnya hendak menyatakan bahwa air yang memancar dari petirthaan tersebut sebenarnya adalah amerta yang seakan-akan keluar
dari tubuh Mahameru.
Air amerta merupakan air yang diperlukan dalam
kehidupan manusia dan juga para dewa,
air itu dapat digunakan untuk
berbagai kebaikan manusia.
Situs berupa candi
dengan air yang mengalir dari berbagai sudut candi Berukuran panjang : 16,85 m, lebar: 13,52 m dan kedalaman: 5,20 m.
Terbuat dari batu Andesit yang dipahat halus oleh tangan terampil,
memiliki 52 pancuran air yang mengeluarkan airnya sepanjang musim.
Dibuat pada
tahun 997 Masehi. Zaman Airlangga pada masa kejayaan Kerajaan
Kahuripan.
Kahuripan adalah nama yang lazim dipakai untuk sebuah kerajaan di Jawa Timur
yang didirikan oleh Airlangga pada tahun 1009.
Kerajaan ini dibangun sebagai kelanjutan Kerajaan Medang yang runtuh tahun 1006.
yang didirikan oleh Airlangga pada tahun 1009.
Kerajaan ini dibangun sebagai kelanjutan Kerajaan Medang yang runtuh tahun 1006.
Nama Airlangga berarti "Air yang melompat". Ia lahir tahun 990.
Ayahnya bernama Prabu Udayana, raja Kerajaan Bedahulu dari Wangsa Warmadewa.
Ibunya bernama Mahendradatta, atau dikenal dengan nama Gunapriya Dharmapatni,
seorang putri Wangsa Isyana dari Kerajaan Medang.
Waktu itu Medang menjadi kerajaan yang cukup kuat, bahkan mengadakan
penaklukan ke Bali,
mendirikan koloni di Kalimantan Barat, serta
mengadakan serangan ke Sriwijaya.
Patirtan Jolotundo-Trawas Mojokerto |
Dua data sejarah yang sangat penting yang berhubungan dengan
kepurbakalaan ini adalah angka 997 M yang dipahatkan di sebelah kanan Angka tahun 899 saka
di dinding sebelah kiri alias 977 masehi
dan tulisan Gempeng di sebelah kiri dinding belakang.
Angka tahun 899 saka di dinding sebelah kiri alias 977 masehi |
Candi ini merupakan Monumen Cinta Kasih Raja Udayana untuk menyambut kelahiran anaknya, Prabu Airlangga, yang dibangun 997 M.
Sumber lain menyebutkan bahwa candi ini adalah
tempat pertapaan Airlangga setelah mengundurkan diri dari singgasana dan
diganti anaknya,
ada juga sumber yang menyatakan konon dahulu ketika Raja Airlangga masih muda,
beliau pernah singgah ke
daerah Jolotundo untuk menenangkan jiwanya,
beliau mandi di sumber air
tersebut dan merasa tentram jiwanya ketika selesai mandi.
Patirthān Jalatunda dipandang dari lereng atas ke arah kolam penampungan air (kolam utama) |
Di sisi utara batur dan terdapat bilik dari susunan balok batu,
mempunyai celah pintu di sisi barat,
jika seseorang memasukinya maka ia
memasuki kolam kecil yang ditutup tembok batu bilik itu.
Sekarang bilik
kolam itu tidak mempunyai atap lagi, namun diduga di masa lalu ketika
masih berfungsi terdapat tiang-tiang penopang atap yang terbuat dari
bahan yang cepat lapuk,
oleh karena itu bagian atap bilik sudah tidak
ada lagi sisanya.
Di sisi timur di bagian atas bilik, tentunya di masa
silam pernah bertahta arca Garuda yang juga berfungsi sebagai jaladwara,
sangat mungkin air dahulu memancar keluar dari paruh Garuda tersebut.
Arca Garuda sekarang telah tiada, namun masih ada yang tersisa, yaitu
pahatan yang berbentuk sayap burungnya saja.
Bilik mandi yang dipercaya dulunya digunakan oleh Sang Ratu berendam kini digunakan mandi oleh wanita. |
Begitupun yang terdapat di selatan batur terdapat kolam berbilik batu
juga, keadaannya sama dengan yang berada di kolam utara,
hanya saja
yang membedakannya adalah arca yang terletak di bagian atas kolam.
Dahulu yang bersemayam di kolam selatan adalah arca Naga, arca tersebut
sekarang masih ada, digambarkan Naga yang sedang menegakkan kepalanya
dan menghadap ke arah kolam.
Dahulu dari mulut Naga tentunya memancar
air ke arah kolam, jadi berfungsi juga sebagai jaladwara,
hanya saja kepala Naga tersebut, bagian mulutnya telah rusak terpotong.
Bilik mandi yang dipercaya dulunya digunakan oleh Sang Raja berendam kini digunakan mandi oleh pria |
Ikan koi dengan ukuran jumbo yangberenang dengan bebasnya di petirtan |
Di sekitar petirtan, disediakan pendopo dan gazebo untuk menikmati suasana sejuk dan nyaman. |
Kawasan Jolotundo juga dapat dijadikan titik awal menuju puluhan candi
lain yang tersebar di sepanjang jalur pendakian Gunung Penanggungan.
Lebih kurang 1 km sebelum candi Jolotundo terdapat Pusat Pendidikan
Lingkungan Hidup (PPLH) Seloliman.
Kesegaran Pagi Hari di Petirtan Jolotundo |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar